Senin, 13 Januari 2025 / 13 Rajab 1446 H
Mansur Hasyimi Khorasani
 Ucapan baru: Sebuah ucapan dari Yang Mulia tentang mereka yang saat ini tidak menghargainya dan mengejek seruannya kepada Mahdi. Klik di sini untuk membaca. Pelajaran baru: Pendahuluan Pelajaran telah terbit. Klik di sini untuk membaca. Surat baru: Bagian dari surat yang ditulis oleh Yang Mulia di awal dakwahnya, di mana beliau menegaskan bahwa dirinya dikenal melalui apa yang dia serukan, bukan melalui nama atau sifat-sifatnya. Klik di sini untuk membaca. Kunjungi beranda untuk membaca konten paling penting di situs web. Pertanyaan baru: Bagaimana pandangan Islam terhadap taqlid (mengikuti secara buta)? Klik di sini untuk membaca jawaban. Artikel baru: Artikel “Sebuah ulasan buku Kembali ke Islam karya Mansur Hasyimi Khorasani” ditulis oleh “Sayyed Mohammad Sadeq Javadian” telah terbit. Klik di sini untuk membaca. Kunjungi beranda untuk membaca konten paling penting di situs web.
loading
Pelajaran
 
Pendahuluan
Pendahuluan

Pendahuluan

Pelajaran-pelajaran dari Yang Mulia Allamah Mansur Hasyimi Khorasani (Hafizhahullah Ta‘ala) bertujuan untuk menyucikan manusia dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah. Dasar dan inti dari pelajaran-pelajaran ini adalah Al-Quran dan Sunnah, dan materi yang dibahas meliputi keyakinan, hukum, dan akhlak dalam Islam. Dari materi-materi tersebut, kami telah memilih topik-topik yang berkaitan dengan isu-isu paling penting dan relevan di zaman sekarang dan mengaturnya sedemikian rupa agar memudahkan pembaca dalam mengkaji dan mempelajarinya. Kami juga menyertakan referensi dan beberapa penjelasan jika diperlukan.

***

Setiap bab dari pelajaran-pelajaran ini berkaitan dengan isu keyakinan, fikih, atau moralitas dan terdiri dari tiga bagian:

Bagian pertama menyajikan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan isu tersebut dan disertai dengan penafsiran yang sangat berharga dari Yang Mulia Allamah (Hafizhahullah Ta‘ala). Kami telah mengekstrak penafsiran ini dari perkataan beliau yang murni. Penafsiran tersebut menjelaskan makna ayat-ayat tersebut secara mendalam yang menyembuhkan hati dan membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Bagian kedua menyajikan hadis-hadis sahih dari Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam) terkait dengan isu tersebut, beserta penjelasan dan tindak lanjutnya. Bagian ini mencakup poin-poin yang mendalam dan klarifikasi yang bermanfaat dari Yang Mulia Allamah (Hafizhahullah Ta‘ala), yang menjelaskan makna hadis, status para perawi, dan pandangan para ulama.

Bagian ketiga menyajikan hadis-hadis sahih dari Ahlul Bait terkait dengan isu tersebut, beserta penjelasan dan tindak lanjutnya. Isinya serupa dengan yang ada di bagian kedua.

***

Adapun prinsip Yang Mulia Allamah (Hafizhahullah Ta‘ala), adalah keabsahan kabar mutawatir dan ketidakabsahan kabar ahad. Menurut pandangannya, kabar mutawatir adalah yang diriwayatkan oleh lebih dari empat orang laki-laki pada setiap tingkatan dalam rantai periwayatan, dengan syarat mereka bukan rekan sejawat, maknanya tidak saling bertentangan, dan apa yang mereka riwayatkan tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam) yang telah ditetapkan, dan akal sehat. Adapun yang diriwayatkan oleh empat orang laki-laki pada setiap tingkatan, itu juga dianggap mutawatir dalam pandangan beliau, dengan syarat mereka adalah orang-orang yang adil, selain memenuhi syarat-syarat sebelumnya, dan ini membutuhkan pemeriksaan status para perawi jika jumlah mereka tidak melebihi empat orang laki-laki. Mengenai pemeriksaan status mereka jika jumlahnya lebih sedikit atau lebih banyak dari itu, ini adalah sesuatu yang dilakukan oleh Yang Mulia Allamah (Hafizhahullah Ta‘ala) sebagai suatu kewajiban; karena mayoritas umat Islam mempercayai keabsahan kabar ahad dari seseorang yang dapat dipercaya atau jujur, dan mereka mungkin tidak menganggap kabar dari lima orang laki-laki sebagai mutawatir. Oleh karena itu, Yang Mulia Allamah memilih riwayat dari individu-individu terpercaya dan mereka yang dianggap jujur di antara mereka, agar hal itu dapat menjadi bukti terhadap mereka dan mereka dapat diberi petunjuk.

***

Adapun syarat beliau dalam memilih hadis adalah setelah maknanya sesuai dengan Al Qur’an, Sunnah yang telah ditetapkan, dan akal sehat, para perawinya harus dikenal karena kejujuran atau kebenaran mereka di kalangan rekan-rekan mereka, bukan di kalangan lawan mereka; sebagaimana yang telah dijelaskan secara rinci dalam biografi Jabir ibn Yazid al-Ju‘fi, dengan mengatakan:

«الْمُعْتَمَدُ حَالُ الرَّجُلِ عِنْدَ أَصْحَابِهِ؛ لِأَنَّهُمْ أَعْرَفُ بِحَالِهِ، وَلَا حُجَّةَ فِي قَوْلِ سَائِرِ النَّاسِ إِذَا خَالَفَ قَوْلَ أَصْحَابِهِ؛ لِأَنَّهُمْ أَبْعَدُ مِنْهُ وَقَدْ يَقُولُونَ فِيهِ شَنَآنًا لِمَذْهَبِهِ، وَالشَّاهِدُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْيَهُودِ: ”أَيُّ رَجُلٍ فِيكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ؟“ فَقَالُوا: ”خَيْرُنَا وَابْنُ خَيْرِنَا، وَسَيِّدُنَا وَابْنُ سَيِّدِنَا، وَعَالِمُنَا وَابْنُ عَالِمِنَا“، فَقَبِلَ قَوْلَهُمْ فِيهِ؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا أَصْحَابَهُ، ثُمَّ أَخْبَرَهُمْ بِأَنَّهُ قَدْ أَسْلَمَ، فَوَقَعُوا فِيهِ وَقَالُوا: ”شَرُّنَا وَابْنُ شَرِّنَا“، فَلَمْ يَقْبَلْ قَوْلَهُمْ فِيهِ بَعْدَ أَنْ خَالَفُوهُ فِي الْمَذْهَبِ، وَلَوْ قُبِلَ قَوْلُ الْمُخَالِفِينَ فِي الْمَذْهَبِ لَمْ يَبْقَ مِنَ الْحَدِيثِ شَيْءٌ؛ لِأَنَّ كُلَّ طَائِفَةٍ يُسِيئُونَ الْقَوْلَ فِي الْأُخْرَى؛ كَمَا تَرَى الشِّيعَةَ لَا يُبَالُونَ بِمَا يَرْوِيهِ السُّنَّةُ إِلَّا مَا يَتَّخِذُونَهُ حُجَّةً عَلَيْهِمْ، وَتَرَى السُّنَّةَ لَا يَنْظُرُونَ فِيمَا يَرْوِيهِ الشِّيعَةُ إِلَّا تَعَجُّبًا وَاسْتِهْزَاءً، وَكِلَاهُمَا قَدْ ضَلَّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ، وَلَكِنَّا نَأْخُذُ بِكُلِّ مَا يَرْوِيهِ الْمُسْلِمُونَ مُوَافِقًا لِكِتَابِ اللَّهِ إِذَا كَانُوا مِنَ الْمَعْرُوفِينَ بِالصِّدْقِ عِنْدَ أَصْحَابِهِمْ دُونَ تَعَصُّبٍ لِأَحَدٍ مِنَ الْمَذَاهِبِ»[1]; “Kriterianya adalah status seseorang di kalangan rekan-rekannya (maksudnya orang-orang dari sektenya); karena mereka lebih mengetahui kedudukannya. Dan pendapat orang lain, kapan pun bertentangan dengan pendapat rekan-rekannya, bukanlah bukti; karena mereka lebih jauh darinya dan mungkin berbicara buruk tentangnya karena ketidaksukaan mereka terhadap sektenya. Dan bukti untuk hal ini adalah tindakan Rasulullah (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam), yang berkata kepada orang-orang Yahudi: ‘Bagaimana kedudukan Abdullah ibn Salam di antara kalian?’ Mereka berkata: ‘Dia adalah orang baik diantara kami, putra orang baik kami, pemimpin kami, putra pemimpin kami, ulama kami, dan putra ulama kami.’ Maka beliau menerima ucapan mereka tentangnya; karena mereka adalah rekan-rekannya. Kemudian beliau memberitahu mereka bahwa dia telah masuk Islam, maka mereka mulai berbicara buruk tentangnya dan berkata: ‘Dia adalah orang terburuk diantara kami dan putra orang terburuk kami.’ Namun beliau tidak menerima ucapan mereka tentangnya setelah mereka menjadi lawannya dalam sekte. Dan jika ucapan para penentang dalam sekte diterima, maka tidak akan tersisa apa pun dari hadis; karena setiap kelompok berbicara buruk tentang kelompok lain; seperti yang kalian lihat bahwa Syiah tidak memperhatikan apa yang diriwayatkan oleh Sunni, kecuali yang mereka gunakan sebagai bukti untuk melawan mereka, dan kalian melihat bahwa Sunni tidak melihat apa yang diriwayatkan oleh Syiah kecuali dengan keterkejutan dan ejekan, dan keduanya telah tersesat dari jalan yang seimbang. Namun, kami menerima apa pun yang diriwayatkan oleh Muslim yang sesuai dengan Kitab Allah kapan pun mereka dikenal karena kejujuran di kalangan rekan-rekannya, tanpa menunjukkan keberpihakan terhadap salah satu sekte”.

Oleh karena itu, kriteria menurut pandangan Yang Mulia Allamah (Hafizhahullah Ta‘ala) adalah Islam dan dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya atau jujur di kalangan rekan-rekannya, bukan sekte atau kritik dari para penentang yang tidak memiliki bukti yang dapat diterima. Jadi, jika seseorang berasal dari Sunni, kriterianya adalah statusnya di kalangan Sunni, dan statusnya di kalangan Syiah tidak diperhitungkan. Demikian pula, jika seseorang berasal dari Syiah, kriterianya adalah statusnya di kalangan Syiah, dan statusnya di kalangan Sunni tidak diperhitungkan. Tidak ada perbedaan antara riwayat Sunni dan riwayat Syiah selama riwayat tersebut sesuai dengan tiga prinsip dasar yang telah disebutkan dan para perawinya dikenal karena kejujuran atau kebenaran di kalangan rekan-rekan mereka. Oleh karena itu, Anda melihat bahwa Yang Mulia Allamah (Hafizhahullah Ta‘ala) memilih riwayat dari Syiah sebagaimana dia memilih dari Sunni, dan dia tidak mengabaikan riwayat seorang perawi hanya karena sektenya, selama sektenya tidak bertentangan dengan apa yang diketahui secara pasti dalam agama sedemikian rupa sehingga mengeluarkannya dari Islam; karena jika demikian, dia akan menjadi munafik, dan seorang munafik tidak dapat dipercaya dalam apa pun, bahkan jika semua orang menganggapnya dapat dipercaya.

***

Adapun metodologi Yang Mulia Allamah (Hafizhahullah Ta‘ala) dalam tiga bagian pelajaran, adalah sebagai berikut:

Menyajikan ayat-ayat atau hadis-hadis sahih, yang kami sebut sebagai “prinsip”.

Menyajikan penguat dan tindak lanjut, jika ada, setelah hadis-hadis sahih untuk memperkuatnya, yang kami sebut sebagai “penguat”.

Pernyataan dari Yang Mulia Allamah (Hafizhahullah Ta‘ala) tentang ayat atau isu-isu yang terkait dengan hadis—termasuk makna, status para perawi, pendapat para ulama, dan informasi relevan lainnya—jika ada, yang kami sebut sebagai “pertimbangan”.

↑[1] . Pertimbangan pelajaran 121 dari bab 1
Bagikan
Bagikan konten ini dengan teman-teman Anda untuk membantu menyebarkan pengetahuan; memberi tahu orang lain tentang pengetahuan ini merupakan bentuk ucapan terima kasih.
Email
Telegram
Facebook
Twitter
Anda juga bisa membaca konten ini dalam bahasa berikut ini:
Jika Anda familiar dengan bahasa lainnya, Anda bisa menerjemahkan konten ini ke bahasa tersebut. [Formulir Terjemahan]