Senin, 13 Januari 2025 / 13 Rajab 1446 H
Mansur Hasyimi Khorasani
 Ucapan baru: Sebuah ucapan dari Yang Mulia tentang mereka yang saat ini tidak menghargainya dan mengejek seruannya kepada Mahdi. Klik di sini untuk membaca. Pelajaran baru: Pendahuluan Pelajaran telah terbit. Klik di sini untuk membaca. Surat baru: Bagian dari surat yang ditulis oleh Yang Mulia di awal dakwahnya, di mana beliau menegaskan bahwa dirinya dikenal melalui apa yang dia serukan, bukan melalui nama atau sifat-sifatnya. Klik di sini untuk membaca. Kunjungi beranda untuk membaca konten paling penting di situs web. Pertanyaan baru: Bagaimana pandangan Islam terhadap taqlid (mengikuti secara buta)? Klik di sini untuk membaca jawaban. Artikel baru: Artikel “Sebuah ulasan buku Kembali ke Islam karya Mansur Hasyimi Khorasani” ditulis oleh “Sayyed Mohammad Sadeq Javadian” telah terbit. Klik di sini untuk membaca. Kunjungi beranda untuk membaca konten paling penting di situs web.
loading
Artikel
 

Buku “Kembali ke Islam” karya Mansur Hasyimi Khorasani adalah sebuah karya inovatif dan berwawasan luas di bidang studi Islam yang membahas masalah-masalah mendasar terkait keyakinan dan tindakan umat Muslim dan menyajikan pendekatan baru untuk memahami Islam secara lebih baik dan menegakkannya dalam masyarakat. Ditulis dengan gaya ilmiah dan rasional, buku ini mengkritik pemahaman umum dalam Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang mapan dan pasti yang dianut oleh seluruh umat Muslim dari berbagai mazhab, dan menyajikan perspektif yang berbeda terkait Islam yang melampaui perpecahan sektarian, yang disebut sebagai “Islam yang murni dan sempurna”.

Dalam buku ini, penulis memulainya dengan menjelaskan dasar pemahaman melalui mengidentifikasi kriteria pengetahuan. Beliau menganggap bahwa tiga karakteristik utama untuk kriteria ini adalah: keharusan, kesatuan, dan kejelasan mandiri. Melalui studi ekstensif, beliau memperkenalkan akal sebagai kriteria pengetahuan dan menekankan bahwa semua pengetahuan pada akhirnya harus kembali kepada akal. Bagaimanapun, beliau membedakan antara akal rasional dengan penalaran filosofis dan percaya kriteria pengetahuan adalah akal rasional, bukan penalaran filosofis. Selain itu, beliau membahas tentang perselisihan ribuan tahun antara kelompok Asy‘ariyah dan Adliyyah. Beliau menganggap perselisihan tersebut sebagai perselisihan verbal yang muncul dari ketidakperhatian mereka terhadap sifat ciptaan dan sifat legislatif dari perintah dan larangan Allah. Beliau percaya bahwa baik akal maupun syariat adalah tindakan Allah dan ada kesatuan mendasar di antara tindakan-tindakan Allah, tanpa ada kontradiksi atau konflik di antara mereka.

Beliau kemudian menjelaskan berbagai penghalang pengetahuan dan menyebutkan ketidaktahuan, peniruan, nafsu, materialisme, fanatisme, kesombongan, dan takhayul sebagai contoh-contoh terpenting. Pada setiap contoh ini, beliau membahas evaluasi kritis historis tentang keyakinan dan perbuatan amal umat Muslim, mengkritik fondasi intelektual mereka sejak wafatnya Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam), menjelaskan inovasi-inovasi dan penyimpangan-penyimpangan yang lazim, dan menelusuri akar-akar masalah di dunia Islam.

Dalam bagian bukunya, beliau melihat kurangnya pengetahuan yang benar dan lengkap tentang Islam di kalangan umat Muslim sebagai penyebab paling penting dari perselisihan dan penyimpangan mereka dan menyebutkan berbagai faktor dan asal-usulnya. Beliau juga menganggap ketidaktahuan umat Muslim tentang sesama mereka dan musuh-musuh mereka secara benar dan lengkap sebagai penyebab tambahan.

Salah satu isu penting yang dibahas dalam buku ini adalah peniruan. Penulis menganggap meniru para pendahulu dan penguasa yang zalim—dalam arti mengikuti mereka—sebagai penyebab kemunduran budaya Islam dan menyatakan legitimasi pemberontakan umat Muslim melawan pemerintah yang kejam dan tunduk, bahkan jika pemerintah tersebut mengklaim sebagai pemerintah Islam. Selain itu, beliau tidak hanya percaya bahwa meniru orang-orang kafir—dalam arti mengikuti ide-ide dan model-model non-Islam—tidak membawa kemajuan material dan duniawi bagi umat Muslim, tetapi beliau juga melihatnya sebagai penyebab kehancuran budaya dan peradaban mereka. Selain itu, beliau menganggap meniru mayoritas orang sebagai tindakan yang salah, dan setelah menolak validitas konsensus dan popularitas sebagai bukti agama karena sifat mereka yang spekulatif, beliau mengkritik demokrasi secara teoritis dan menganggapnya tidak efektif, terutama pada masyarakat yang akal mayoritas masyarakatnya belum berkembang secara memadai.

Beliau juga menolak meniru para ulama karena hal itu mengarah pada dugaan, yang tidak memiliki keabsahan dalam Islam. Beliau percaya bahwa ini adalah salah satu penyebab perselisihan di antara umat Muslim sejak dahulu sampai sekarang. Beliau kemudian menganggap ijtihad, dalam istilah umum—yang berarti menarik kesimpulan hukum dari bukti spekulatif—tidak memadai dan melihat perlunya menemukan cara lain untuk mencapai kepastian.

Selanjutnya, penulis secara mendasar mengkritik teori kepemimpinan mutlak oleh seorang ahli hukum Islam, melihat hal tersebut sebagai bentuk berlebihan terhadap para ulama, dan menolak kemungkinan hal tersebut dari sudut pandang rasional; karena, menurut pandangan penulis, ketaatan tanpa syarat kepada seseorang yang mungkin dengan sengaja atau tidak sengaja memerintahkan sesuatu yang tidak adil bertentangan dengan ketentuan akal dan syariat. Selain itu, mengingat konsekuensi dari kepercayaan pada kepemimpinan mutlak oleh seorang ahli hukum Islam, beliau menunjukkan bahwa ketaatan tanpa syarat kepada orang yang tidak ma‘sum dan memberikan mereka otoritas orang ma‘sum sering kali menjadi sumber berbagai konflik dan kerusakan serius, seperti tirani politik, dan ini adalah alasan lain untuk menghindari keyakinan ini. Tentu saja, jelas bahwa pandangan kritis penulis, meskipun telah memicu reaksi politik dan keamanan yang kuat di beberapa negara Syiah, terutama Iran, adalah pandangan yang sepenuhnya ilmiah. Hal ini serupa dengan pendapat beberapa ulama besar Syiah, seperti Shaikh al-Ansari, Akhund al-Khorasani, dan Abu al-Qasim al-Khu’i, dan itu sama sekali tidak memiliki agenda politik atau anti-keamanan.

Setelah itu, penulis menganggap takhayul sebagai faktor yang berpengaruh dalam keyakinan dan perbuatan amal umat Muslim. Beliau mengkritik beberapa kaum sufi karena mempromosikan takhayul dan percaya bahwa peran mereka signifikan dalam menyebarkan ketidakrasionalan serta praktik agama yang emosional dan puitis di kalangan umat Muslim. Beliau juga mengutuk banyak penyair karena menciptakan puisi-puisi indah tetapi salah yang bertentangan dengan ajaran para Nabi. Beliau memandang mereka—seperti para penyihir—sebagai saingan dan penentang para Nabi, yang menjauhkan orang-orang dari jalan Allah dengan «زُخْرُفَ الْقَوْلِ»; “ucapan yang dihiasi” dan «لَهْوَ الْحَدِيثِ»; “perkataan yang sia-sia”.

Isu mendasar dan penting lainnya yang dibahas Mansur Hasyimi Khorasani dalam bukunya yang khas dan kontroversial, Kembali ke Islam adalah tentang pemerintahan Islam. Menurut beliau, kekuasaan atas manusia hanya milik Allah, dan tidak ada seorang pun yang berhak memerintah mereka, dan Allah menjalankan pemerintahan-Nya melalui menunjuk seorang wakil yang disebut “khalifah”. Oleh karena itu, dasar pembentukan pemerintahan Islam dan legitimasi politiknya adalah izin khusus dan pasti dari Allah, yang saat ini tidak dimiliki oleh seorangpun dari para penguasa di dunia Islam. Akibatnya, tidak ada satu pun pemerintahan mereka saat ini yang dianggap sebagai pemerintahan Islam. Beliau percaya bahwa kebutuhan akan pemerintahan Islam untuk memiliki seorang penguasa yang diangkat secara khusus dan pasti oleh Allah adalah salah satu hal yang jelas dan esensial dalam Islam dan agama-agama Abrahamik lainnya, sehingga tidak ada ruang untuk keraguan atau perdebatan. Tentu, tidak seperti semua ulama Muslim dari berbagai mazhab Islam, penulis percaya bahwa manusia dapat mengakses penguasa semacam itu; sebab, alasan mereka tidak dapat mengakses penguasa seperti itu, bertentangan dengan persepsi mereka, bukan karena kebijaksanaan Allah, melainkan karena kegagalan mereka menyediakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengaksesnya, dan kapanpun mereka memenuhi syarat-syarat ini melalui proses yang sepenuhnya normal dan alami, mereka akan dapat mengaksesnya. Karena alasan inilah, ketidakmampuan mereka untuk mengaksesnya tidak dianggap sebagai alasan yang sah untuk memilih penguasa selain dia; sebab, di satu sisi, karena mereka dapat mengakses penguasa yang dipilih oleh Allah, tidak ada kebutuhan untuk memilih penguasa lain, dan di sisi lain, kegagalan mereka untuk mengakses penguasa ini adalah karena kekurangan mereka sendiri; oleh karena itu, hal ini tidak dapat dianggap sebagai alasan yang sah untuk memilih penguasa lain, bahkan jika tampaknya mereka tidak memiliki alternatif. Berdasarkan hal ini, pemerintahan Islam hanya mungkin dengan pemerintahan khalifah Allah di bumi, dan pemerintahan khalifah Allah di bumi hanya mungkin melalui kehendak dan tindakan manusia.

Dalam bagian lain dari buku Kembali ke Islam, Khorasani menganggap penegakan Islam hanya akan bermanfaat dan efektif jika dalam bentuknya yang murni dan sempurna. Beliau percaya bahwa menegakkan sebagian saja atau mencampurkannya dengan hal lain bukan hanya tidak berguna dan tidak efektif, tetapi juga dapat merugikan dan berbahaya. Hal ini bertentangan dengan persepsi kebanyakan Muslim, yang berpikir bahwa menegakkan sebagian Islam tetaplah diinginkan. Beliau menyamakan Islam dengan satu sistem yang memiliki bagian-bagian yang saling terhubung; jika satu bagian tidak berfungsi, bagian lainnya kehilangan efektivitasnya, dan seluruh sistem gagal. Oleh karena itu, umat Muslim tidak memiliki pilihan selain menegakkan seluruh Islam dalam bentuknya yang murni, dan ini hanya mungkin jika khalifah Allah di bumi yang mengajarkannya.

Isu mendasar dan penting lainnya dalam buku ini adalah bahwa penulis menganggap pelaksanaan hukum hudud dan hukuman Islam bergantung pada pelaksanaan semua hukum umum dan politik Islam. Beliau percaya bahwa pemberlakuan hukum hudud dan hukuman ini telah dilakukan dengan mempertimbangkan pemerintahan khalifah Allah di bumi dan sesuai dengan waktu dan tempat di mana semua hukum Islam lainnya diterapkan sebagai faktor pencegahan. Oleh karena itu, penerapan hukum hudud dan hukuman ini pada waktu dan tempat lain adalah tidak adil dan tidak sesuai; terutama mengingat bahwa, dari sudut pandang penulis, hukum-hukum Islam saling bergantung dan saling berhubungan;hukum-hukum tersebut saling dipengaruhi dan mempengaruhi satu sama lain. Jelas bahwa pandangan ini, meskipun menimbulkan tantangan besar terhadap hukum fiqih dan dasar penerapan hukum pidana, sepenuhnya bersifat ilmiah dan berasal dari dasar intelektual penulis yang khusus.

Dalam bagian lain dari buku Kembali ke Islam, Mansur Hasyimi menganggap perselisihan di antara umat Muslim, kedaulatan selain Allah, asosiasi dengan bangsa dan budaya non-Islam, kemunculan mazhab-mazhab dan persaingan mereka satu sama lain, kemerosotan moral, dan hambatan dari musuh-musuh Islam sebagai rintangan paling penting untuk penegakan Islam yang murni dan sempurna sejak wafatnya Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam). Beliau membahas masing-masing secara mendetail dengan sudut pandang yang historis, berdasarkan evaluasi kritis, dan bebas dari sekte.

Selain itu, beliau menganggap kecenderungan untuk mengandalkan hadis sebagai salah satu hambatan untuk mengenal dan menegakkan Islam yang murni dan sempurna oleh umat Muslim; sebab, menurut beliau, hadis—yang berarti kabar spekulatif (dugaan) tentang Sunnah Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam)—tidak dianggap sah karena ketidakabsahan dugaan dalam Islam, dan tidak cukup untuk dijadikan bukti dalam menyimpulkan sebuah keyakinan atau hukum. Beliau percaya bahwa tidak ada justifikasi untuk mengecualikan dugaan yang muncul dari hadis dari bentuk dugaan lainnya; karena ketidakabsahan dugaan adalah sebuah hukum yang ditentukan oleh akal dan hukum seperti itu tidak memungkinkan pengecualian. Oleh karena itu, hanya hadis mutawatir, yang memiliki banyak perawi dan mengarah pada kepastian, yang dianggap sah, dimana hadis semacam itu sangat sedikit dan tidak cukup tersedia. Bagaimanapun, dari sudut pandang penulis, solusi untuk dilema ini bukanlah merujuk pada hadis non-mutawatir, melainkan mendatangi khalifah Allah di bumi; karena perkataan dan tindakannya memiliki keabsahan dalam Islam dan menghasilkan kepastian. Jika saat tidak memungkinkan untuk datang kepadanya, ini dikarenakan manusia telah gagal menciptakan kondisi untuk hal tersebut. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang sah bagi mereka untuk merujuk pada hadis non-mutawatir. Hasyimi Khorasani percaya bahwa kegagalan manusia dalam menciptakan kondisi untuk mengakses Khalifah Allah di bumi telah menempatkan manusia dalam situasi putus asa sehingga membuatnya seakan-akan mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali bergantung kepada hadis non-mutawatir untuk memperoleh kepercayaan dan hukum-hukum Islam. Akan tetapi, situasi ini sepenuhnya disebabkan karena kelalaian mereka dan ini bukanlah paksaan dari Allah terhadap mereka untuk menentang kasih sayang-Nya. Bagaimanapun, beliau percaya bahwa manusia dapat keluar dari situasi ini; sebab mengakses khalifah Allah di bumi adalah mungkin bagi mereka jika mereka menjamin keamanannya; sebagaimana kedaulatannya atas mereka adalah mungkin jika mereka menjamin dukungan dan ketaatan mereka kepadanya.

Dalam bagian lain dari bukunya, Mansur mendefinisikan Islam sebagai ketundukan kepada Allah, yang diwujudkan melalui keyakinan kepada Nabi terakhir-Nya. Beliau percaya bahwa pengikut setiap Nabi dianggap Muslim hingga Nabi berikutnya datang kepada mereka; ketika Nabi berikutnya datang kepada mereka, jika mereka percaya kepadanya, mereka tetap setia pada Islam, dan jika mereka mengingkarinya, mereka berpaling dari Islam. Pada bagian ini dari bukunya, setelah memperkenalkan Nabi terakhir dan membuktikan kenabiannya, penulis menjelaskan posisi Al Qur’an dan Sunnah serta menyoroti poin-poin yang sangat penting dan mendasar terkait hal ini. Salah satu poin tersebut adalah ketidakmungkinan membatalkan, menentukan, dan menggeneralisasi Al Qur’an oleh Sunnah; mengingat peran Sunnah hanyalah menjelaskan Al Qur’an dan tidak dapat bertentangan dengannya dalam bentuk apa pun. Selain itu, Sunnah dalam sebagian besar kasus bersifat dugaan dan tidak memiliki kemampuan untuk bertentangan dengan Al Qur’an, yang bersifat pasti. Bahkan dalam kasus di mana Sunnah dianggap mutawatir, tingkat mutawatirnya tetap tidak setara dengan Al Qur’an; oleh karena itu, Sunnah tidak mencapai level yang sama dengan Al Qur’an untuk membatalkan, menentukan, atau menggeneralisasinya.

Pada bagian lain dari buku Kembali ke Islam, penulis menganggap Sunnah Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam) sebagai bukti dan harus diikuti secara abadi. Bagaimanapun, beliau percaya bahwa mengakses Sunnah secara yakin sebagian besar hanya mungkin bagi orang-orang di masa Nabi, tetapi tidak untuk generasi berikutnya. Oleh karena itu, generasi berikutnya memerlukan referensi lain untuk mencapai kepastian tentang Sunnah Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam). Referensi ini adalah khalifah Allah di bumi, yang dianggap sebagai penerus Nabi dalam menjalankan perintah Allah dan secara alami selalu dapat diakses oleh umat manusia, sebagaimana Al Qur’an. Setelah mengkaji teks-teks Islam yang pasti, termasuk ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits mutawatir dari Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam), penulis dengan sangat terampil membuktikan, dalam cara yang dapat diterima oleh semua Muslim dan bebas dari orientasi sekte, bahwa para khalifah setelah Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam) adalah dua belas pria dari Ahlul Baitnya, tiga yang pertama adalah Ali, Hasan, dan Husain, serta yang terakhir adalah Mahdi. Beliau kemudian mengkaji isu Mahdi dan perannya dalam mewujudkan cita-cita Islam, yaitu keadilan global. Dalam hal ini, beliau menyajikan detail yang sangat tepat dan mendalam yang sepenuhnya baru dan belum pernah ada sebelumnya. Misalnya, berbeda dengan pandangan umum yang percaya bahwa kemunculan Mahdi bergantung sepenuhnya pada kehendak dan tindakan Allah serta tunduk pada kebijaksanaan-Nya, beliau percaya bahwa kemunculan Mahdi bergantung terutama pada kehendak dan tindakan manusia serta kesiapan mereka. Beliau secara jelas dan tegas menekankan bahwa akses kepada Mahdi adalah mungkin; oleh karena itu, manusia harus fokus hanya pada melindungi, mendukung, dan menaati Mahdi serta tidak melibatkan diri dalam melindungi, mendukung, atau menaati siapa pun selain Mahdi, siapa pun orang tersebut.

Di sisa bukunya, Hasyimi menjelaskan prinsip paling penting dalam Islam, yaitu tauhid. Beliau menganggap bahwa terdapat tiga dimensi tauhid dan menjelaskan ketiga dimensi tersebut secara rinci: tauhid dalam penciptaan, tauhid dalam legislasi, dan tauhid dalam kedaulatan. Selanjutnya, beliau menjelaskan prinsip-prinsip lain dari keyakinan dan hukum Islam dan mendefinisikan ulang masing-masing dengan cara yang unik. Beliau juga membuka pintu-pintu baru bagi para ulama fikih terkait Zakat, Haji, dan Jihad, dan dari setiap pintu tersebut, pintu-pintu baru lainnya terbuka.

Dalam hal ini, dengan menerapkan aturan rasional yang jelas dan mengutip teks-teks agama yang pasti —ayat-ayat Al Qur’an dan hadis-hadis mutawatir dari Nabi (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam)— penulis mendefinisikan ulang keyakinan dan hukum Islam serta menyajikan pemahaman baru dan berbeda tentangnya yang dapat dianggap sebagai pemahaman dan ideologi Islam, mampu merevolusi sikap dan pendekatan umat Muslim di seluruh dunia, membuka jalan bagi persatuan dan kedekatan mereka di masa depan yang dekat, serta membuat perubahan yang signifikan dan mendasar pada struktur politik dan budaya mereka.

Kami merekomendasikan seluruh umat Muslim di dunia, terutama para ulama, membaca buku penting dan berpengaruh ini. Kami menghimbau seluruh pembaca, termasuk para pemimpin Islam, untuk mendekati karya ini dengan kesabaran dan ketabahan yang, menghormati kebebasan berpikir dan berekspresi, serta menjunjung tinggi etika Islam dan tata cara diskusi ilmiah yang benar. Kami juga menyarankan mereka untuk menghindari konfrontasi yang tergesa-gesa dan tidak rasional terhadap pemikiran dan para pemikir.

Bagikan
Bagikan konten ini dengan teman-teman Anda untuk membantu menyebarkan pengetahuan; memberi tahu orang lain tentang pengetahuan ini merupakan bentuk ucapan terima kasih.
Email
Telegram
Facebook
Twitter
Anda juga bisa membaca konten ini dalam bahasa berikut ini:
Jika Anda familiar dengan bahasa lainnya, Anda bisa menerjemahkan konten ini ke bahasa tersebut. [Formulir Terjemahan]
Kirim Artikel atau Catatan
Pengguna yang terhormat! Anda dapat menulis artikel, komentar, momen, dan karya literatur pada formulir yang disediakan di bawah dan mengirimkannya kepada kami untuk diterbitkan pada bagian ini setelah melalui proses evaluasi dan pengeditan.
Perhatian: Nama Anda mungkin akan ditampilkan sebagai penulis artikel atau catatan ini di situs web.
Perhatian: Dikarenakan tanggapan kami akan dikirimkan ke alamat email Anda dan tidak akan dipublikasikan di situs web, maka penting untuk menuliskan alamat email Anda dengan benar.
Catatan: Anda dapat mengirimkan artikel atau catatan ke alamat email kami: info@alkhorasani.com