Senin, 13 Januari 2025 / 13 Rajab 1446 H
Mansur Hasyimi Khorasani
 Ucapan baru: Sebuah ucapan dari Yang Mulia tentang mereka yang saat ini tidak menghargainya dan mengejek seruannya kepada Mahdi. Klik di sini untuk membaca. Pelajaran baru: Pendahuluan Pelajaran telah terbit. Klik di sini untuk membaca. Surat baru: Bagian dari surat yang ditulis oleh Yang Mulia di awal dakwahnya, di mana beliau menegaskan bahwa dirinya dikenal melalui apa yang dia serukan, bukan melalui nama atau sifat-sifatnya. Klik di sini untuk membaca. Kunjungi beranda untuk membaca konten paling penting di situs web. Pertanyaan baru: Bagaimana pandangan Islam terhadap taqlid (mengikuti secara buta)? Klik di sini untuk membaca jawaban. Artikel baru: Artikel “Sebuah ulasan buku Kembali ke Islam karya Mansur Hasyimi Khorasani” ditulis oleh “Sayyed Mohammad Sadeq Javadian” telah terbit. Klik di sini untuk membaca. Kunjungi beranda untuk membaca konten paling penting di situs web.
loading
Tanya Jawab
 

Bagaimana pandangan Islam terhadap taqlid (mengikuti secara buta)?

Ada satu kaidah yang sangat penting yang harus diketahui dan diperhatikan oleh setiap Muslim, yaitu bahwa dugaan (zhann) tidak memiliki nilai hujjah (keabsahan) dalam Islam; hal ini karena Allah Ta’ala secara jelas berfirman dalam Kitab-Nya: ﴿إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا[1]; “Sesungguhnya, dugaan saja tidak cukup untuk membuktikan kebenaran”. Allah juga mencela kaum yang mengikuti dugaan, dengan berfirman: ﴿إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ[2]; “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan mereka tidak melakukan apapun kecuali menebak”. Ini menunjukkan bahwa keyakinan dan amalseorang muslim harus selalu didasarkan pada ilmu yang pasti, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman secara jelas: ﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ[3]; “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya”. Oleh karena itu, keyakinan dan amal yang didasarkan pada dugaan adalah tidak benar dan tidak diterima di sisi Allah, dan jelas bahwa meniru seseorang yang bukan ma’shum (tidak terjaga dari kesalahan) dalam hal keyakinan dan amal, dalam arti mengikuti perkataan atau perbuatannya tanpa mengetahui dalilnya, hanya menghasilkan dugaan; karena tidak diketahui apakah orang tersebut benar atau salah dalam mencapai kebenaran, maka mengikuti mereka “tidak cukup untuk membuktikan kebenaran”.

Adapun alasan mereka yang membolehkan taqlid dalam amal adalah bahwa mereka membedakan antara keyakinan dan amal dan mengatakan bahwa dugaan dapat dijadikan bukti yang cukup dalam amal. Bagaimanapun, perbedaan ini tidak memiliki landasan yang jelas dalam Islam dan firman Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya bersifat umum dan mencakup keduanya (keyakinan dan amal) secara setara, dan tidak diperbolehkan membatasi ayat tersebut melalui qiyas atau riwayat. Oleh karena itu, seorang muslim harus belajar tentang keyakinan islam dan amalnya sejak kecil, sebagaimana ia belajar membaca, menulis, dan kebutuhan hidup lainnya, dan ia tidak boleh menerima suatu keyakinan atau melakukan suatu amal kecuali berdasarkan dalil yang pasti. Dalil yang pasti dalam islam adalah ayat dari Al-Qur’an, hadis mutawatir dari Nabi Muhammad (Sallallahu Alaihi Wa Alihi Wasallam), atau mendengar langsung dari Khalifah Allah di bumi. Inilah islam yang murni dan sempurna sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Mansur Hasyimi Khorasani (Hafizhahullah Ta‘ala) dalam bukunya “Kembali ke Islam” dengan dalil-dalil yang jelas dan argumentasi yang memadai.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai ini, silakan merujuk pada: Kritik dan Jawaban 1.

↑[1] . Yunus/ 36
↑[2] . Yunus/ 66
↑[3] . Al-Isra/ 36
Pusat Informasi Kantor Mansur Hasyimi Khorasani Bagian menjawab pertanyaan
Lampiran
Sub-Tanya Jawab
Sub-Pertanyaan 1
Penulis: Umm Ahmad

Apa pendapat Anda tentang taqlid (mengikuti seseorang secara buta)? Beberapa tahun yang lalu, saya termasuk orang yang melakukan taqlid (muqallid), tetapi sekarang saya telah kembali kepada Allah Ta’ala dengan berlepas diri dari semua taqlid (maraji’ al-taqlid) dan setiap orang yang mengklaim bahwa dirinya adalah pengganti Imam Mahdi (Alaihis Salam) selama masa ketidakhadirannya. Saya juga telah kembali kepada Allah Ta’ala dengan berlepas diri dari konsep kepemimpinan oleh seorang ulama wilayat al-Faqih) dan setiap orang yang meyakininya. Apakah yang saya lakukan ini benar? Semoga Allah membalas Anda dengan segala kebaikan, memberkahi Anda, dan mendukung Islam melalui Anda.

Jawaban untuk
Sub-Pertanyaan 1
Tanggal: 29/5/2022

Kami telah menjelaskan sebelumnya bahwa taqlid kepada orang yang bukan ma‘shum (terjaga dari kesalahan) jelas merupakan hal yang dilarang, dan wajib bagi semua muslim untuk menuntut ilmu tentang ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu‘uddin (amalan-amalan agama), sebagaimana disebutkan dalam hadis yang masyhur: «طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ»[1]; “Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim”. Kami juga telah menjelaskan bahwa Allah tidak memberikan wewenang -dalam arti ketaatan mutlak yang diwajibkan- kepada orang yang bukan ma’shum. Maka barang siapa menetapkan wewenang ini kepada selain yang ma‘shum, ia telah membuat kebohongan terhadap Allah, ﴿وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا[2]; “cukuplah itu sebagai dosa yang nyata”. Jika Allah telah memberi Anda petunjuk menuju pemahaman ini, maka Dia telah membimbing Anda ke jalan yang lurus. Bagaimanapun, hanya keyakinan yang benar, yang merupakan setengah dari iman, dan setengah yang lain adalah amal saleh. Salah satu bentuk amal saleh yang paling penting di zaman ini -setelah menjaga salat, zakat, dan puasa di bulan Ramadan- adalah mempersiapkan kemunculan Imam Mahdi (Alaihis Salam) dengan cara menarik perhatian orang-orang terhadap keberadaannya dan kebutuhan akan perannya, serta mengumpulkan jumlah yang cukup dari mereka untuk mencari dan mendukungnya. Hal inilah yang telah dilakukan dengan baik oleh Allamah Mansur Hasyimi Khorasani (Hafizhahullah Ta‘ala), dan oleh karena itu setiap muslim wajib menolongnya dengan segala kemampuan terbaik yang dimilikinya, sesuai dengan firman Allah Ta’ala: ﴿وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى[3]; “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa”.

↑[1] . Sunan ibn Majah, vol. 1, hal. 81; al-Mahasin oleh al-Barqi, vol. 1, hal. 225; Basa’ir al-Darajat oleh al-Saffar, hal. 22; Musnad al-Bazzar, vol. 14, hal. 45; Musnad Abi Ya‘la, vol. 5, hal. 223; al-Kafi oleh al-Kulayni, vol. 1, hal. 30; Mu‘jam ibn al-A‘rabi, vol. 1, hal. 180; al-Mu‘jam al-Awsat oleh al-Tabarani, vol. 2, hal. 297, vol. 4, hal. 245; al-Amali oleh al-Mufid, hal. 29; Musnad Abi Hanifa oleh Abu Nu‘aym al-Asbahani, hal. 24; Musnad al-Shihab oleh ibn Salama, vol. 1, hal. 135; Shu‘ab al-Iman oleh al-Bayhaqi, vol. 2, hal. 254; al-Amali oleh al-Tusi, hal. 488
↑[2] . An-Nisa/ 50
↑[3] . Al-Ma’idah/ 2
Pusat Informasi Kantor Mansur Hasyimi Khorasani Bagian menjawab pertanyaan
Bagikan
Bagikan konten ini dengan teman-teman Anda untuk membantu menyebarkan pengetahuan; memberi tahu orang lain tentang pengetahuan ini merupakan bentuk ucapan terima kasih.
Email
Telegram
Facebook
Twitter
Anda juga bisa membaca konten ini dalam bahasa berikut ini:
Jika Anda familiar dengan bahasa lainnya, Anda bisa menerjemahkan konten ini ke bahasa tersebut. [Formulir Terjemahan]
Ajukan Pertanyaan
Pengguna yang terhormat! Anda dapat menuliskan pertanyaan terkait pendapat Yang Mulia Allamah Mansur Hasyimi Khorasani (semoga Allah melindunginya) pada formulir di bawah ini dan mengirimkannya kepada kami untuk dijawab di bagian ini.
Perhatian: Nama Anda mungkin akan ditampilkan sebagai penulis pertanyaan ini di situs web.
Perhatian: Dikarenakan tanggapan kami akan dikirimkan ke alamat email Anda dan tidak akan dipublikasikan di situs web, maka penting untuk menuliskan alamat email Anda dengan benar.