dan: ﴿وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ﴾[1]; “Dan janganlah mengikuti keinginan suatu kaum yang telah sesat sebelumnya, yang telah menyesatkan banyak orang, dan telah tersesat jauh dari jalan yang lurus”, dan: ﴿وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا﴾[2]; “Dan janganlah menaati orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, yang mengikuti hawa nafsunya, dan urusannya melampaui batas”, dan: ﴿وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ﴾[3]; “Dan janganlah mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan”, dan: ﴿وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ﴾[4]; “Dan janganlah mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui”, dan: ﴿وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا﴾[5]; “Dan janganlah menaati siapapun yang berdosa atau seseorang yang tidak bersyukur di antara mereka.” Bahkan, Dia telah menjadikan ketaatan kepada mereka sebagai alasan lebih buruk dari pada dosa-dosa yang dibuat oleh penghuni neraka dan sebagai sumber penyesalan dan rasa bersalah mereka di Akhirat; sebagaimana firman-Nya: ﴿وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا﴾[6]; “Dan mereka berkata: ‘Ya Tuhan! Kami telah menaati para pemimpin dan orang-orang tua kami, lalu mereka menyesatkan kami. Ya Tuhan! Berikanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.’”
[Tidak Wajibnya Menaati Penguasa yang Zalim]
Namun demikian, hal yang mengherankan adalah bahwa sejak abad pertama Hijriyah, setelah kekuasaan Bani Umayyah dan dibawah pengaruh propaganda mereka, banyak umat Muslim menganggap ketaatan kepada para penguasa zalim sebagai kewajiban dan akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Bersandar pada pemaknaan yang keliru dari beberapa kabar ahad yang bertentangan dengan isi Al-Qur'an yang jelas, mereka bersikeras bahwa menggulingkan mereka tidak diperbolehkan, meskipun penentangan mereka terhadap akal dan syariat terlihat jelas. Padahal, ini berarti mewajibkan penentangan terhadap akal dan syariat, yang mana mustahil; mengingat bahwa kedaulatan orang zalim tidak mungkin berdiri tanpa ketaatan kepada mereka, sementara mereka memerintah dengan cara yang bertentangan dengan akal dan syariat karena mereka adalah orang zalim. Oleh karena itu, mewajibkan ketaatan kepada mereka bertentangan dengan kewajiban menaati akal dan syariat, dan dua hal ini tidak mungkin dikompromikan. Bahkan, jelas bahwa menaati penguasa zalim, karena pertentangan antara kezaliman dan keadilan, bertentangan dengan ketaatan kepada Penguasa Yang Maha Adil, yaitu Allah Ta‘ala. Oleh karena itu, mempertahankan kekuasaan orang zalim berarti meniadakan kekuasaan Yang Maha Adil, yaitu Allah Ta‘ala. Dengan demikian, mengatakan bahwa Allah Ta’ala mewajibkan ketaatan terhadap mereka berarti melakukan suatu kekejian kepada-Nya, yang merupakan bentuk kedustaan terhadap Allah;
