Selasa, 25 November 2025 / 4 Jumadil Akhir 1447 H
Mansur Hasyimi Khorasani
 Surat baru: Beberapa kutipan surat yang ditulis oleh Yang Terhormat yang berisi celaan terhadap para penguasa zalim yang mengaku memiliki kewenangan keagamaan, serta para pengikut mereka. Klik di sini untuk membaca. Ucapan baru: Dua belas ucapan dari Yang Terhormat terkait fakta bahwa hujjah hanyalah Kitab Allah dan Khalifah-Nya di bumi, bukan pendapat dan bukan pula riwayat. Klik di sini untuk membaca. Pelajaran baru: Pelajaran dari Yang Mulia tentang fakta bahwa bumi tidak pernah kosong dari seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan menyeluruh tentang agama, yang telah Allah tunjuk sebagai khalifah, imam, dan pembimbing di atasnya sesuai dengan perintah-Nya; Ayat-ayat Al Qur’an tentangnya; Ayat no. 16. Klik di sini untuk membaca. Kunjungi beranda untuk membaca konten paling penting di situs web. Pertanyaan baru: Bagaimana pandangan Islam terhadap taqlid (mengikuti secara buta)? Klik di sini untuk membaca jawaban. Artikel baru: Artikel “Sebuah ulasan buku Kembali ke Islam karya Mansur Hasyimi Khorasani” ditulis oleh “Sayyed Mohammad Sadeq Javadian” telah terbit. Klik di sini untuk membaca. Kunjungi beranda untuk membaca konten paling penting di situs web.
loading

dan: ﴿وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ[1]; “Dan janganlah mengikuti keinginan suatu kaum yang telah sesat sebelumnya, yang telah menyesatkan banyak orang, dan telah tersesat jauh dari jalan yang lurus”, dan: ﴿وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا[2]; “Dan janganlah menaati orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, yang mengikuti hawa nafsunya, dan urusannya melampaui batas”, dan: ﴿وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ[3]; “Dan janganlah mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan”, dan: ﴿وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ[4]; “Dan janganlah mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui”, dan: ﴿وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا[5]; “Dan janganlah menaati siapapun yang berdosa atau seseorang yang tidak bersyukur di antara mereka.” Bahkan, Dia telah menjadikan ketaatan kepada mereka sebagai alasan lebih buruk dari pada dosa-dosa yang dibuat oleh penghuni neraka dan sebagai sumber penyesalan dan rasa bersalah mereka di Akhirat; sebagaimana firman-Nya: ﴿وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ۝ رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا[6]; “Dan mereka berkata: ‘Ya Tuhan! Kami telah menaati para pemimpin dan orang-orang tua kami, lalu mereka menyesatkan kami. Ya Tuhan! Berikanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.’”

[Tidak Wajibnya Menaati Penguasa yang Zalim]

Namun demikian, hal yang mengherankan adalah bahwa sejak abad pertama Hijriyah, setelah kekuasaan Bani Umayyah dan dibawah pengaruh propaganda mereka, banyak umat Muslim menganggap ketaatan kepada para penguasa zalim sebagai kewajiban dan akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Bersandar pada pemaknaan yang keliru dari beberapa kabar ahad yang bertentangan dengan isi Al-Qur'an yang jelas, mereka bersikeras bahwa menggulingkan mereka tidak diperbolehkan, meskipun penentangan mereka terhadap akal dan syariat terlihat jelas. Padahal, ini berarti mewajibkan penentangan terhadap akal dan syariat, yang mana mustahil; mengingat bahwa kedaulatan orang zalim tidak mungkin berdiri tanpa ketaatan kepada mereka, sementara mereka memerintah dengan cara yang bertentangan dengan akal dan syariat karena mereka adalah orang zalim. Oleh karena itu, mewajibkan ketaatan kepada mereka bertentangan dengan kewajiban menaati akal dan syariat, dan dua hal ini tidak mungkin dikompromikan. Bahkan, jelas bahwa menaati penguasa zalim, karena pertentangan antara kezaliman dan keadilan, bertentangan dengan ketaatan kepada Penguasa Yang Maha Adil, yaitu Allah Ta‘ala. Oleh karena itu, mempertahankan kekuasaan orang zalim berarti meniadakan kekuasaan Yang Maha Adil, yaitu Allah Ta‘ala. Dengan demikian, mengatakan bahwa Allah Ta’ala mewajibkan ketaatan terhadap mereka berarti melakukan suatu kekejian kepada-Nya, yang merupakan bentuk kedustaan terhadap Allah;

↑[1] . Al-Ma’idah/ 77
↑[2] . Al-Kahf/ 28
↑[3] . Al-A‘raf/ 142
↑[4] . Yunus/ 89
↑[5] . Al-Insan/ 24
↑[6] . Al-Ahzab/ 67-68